- Catatan
- 4 Juni 2024
Kartini Sang Perancang Masa Depan: Panutan bagi pria (dan wanita) Indonesia
Penulis: Robert Herdiyanto, Ekonom Senior, IA-CEPA ECP Katalis
Op-ed ini diterbitkan di The Jakarta Post pada 21 April 2024.
Banyak gelar disematkan kepada Kartini; feminis, pahlawan, penulis, perintis. Namun, tidak sedikit orang yang mencela dan melihat Kartini sebagai seorang perempuan yang hanya ingin membuat perubahan tapi enggan keluar dari zona nyamannya. Apapun keputusan yang diambil Kartini, Ia selalu bersemangat untuk menggaungkan gagasan tentang masa depan yang lebih baik dan setara bagi semua orang. Inilah poin yang tidak hanya relevan di masanya, namun di masa kini juga, khususnya jika berbicara mengenai konteks ambisi Indonesia mencapai target Indonesia Emas 2045.
Seperti itulah sosok Kartini di mata saya, seorang perancang masa depan dan panutan bagi orang Indonesia, terutama bagi laki-laki. Ini mungkin terdengar seperti sebuah ironi karena saya adalah seorang laki-laki yang dibesarkan di kelas menengah atas dan dianugerahi kesempatan bersekolah di luar negeri serta berpenghasilan layak. Namun, saya jelaskan mengapa saya berpikiran demikian. Pertama, Kartini mendorong kesadaran akan kesetaraan. Budaya patriarki yang dulu mengukung Kartini pada zamannya mungkin sekarang sudah tidak terlalu membatasi, meski masih terwujud dalam bentuk yang lebih modern.
Penelitian yang dilakukan oleh Equimundo (2022) menemukan bahwa banyak laki-laki yang mendukung kesetaraan gender secara abstrak saja, namun pada praktiknya, mereka masih mempertahankan hak istimewa mereka sebagai laki-laki secara status quo. Bahkan, terkait kesetaraan gender, pencapaian yang kita lakukan mungkin masih jauh dari target yang ingin dicapai. Ini menjadi sebuah masalah besar karena laki-laki merupakan pihak penting yang seharusnya dapat mendorong kesetaraan gender di lingkungan kerja. Penelitian menunjukkan, 96% organisasi melaporkan bahwa terdapat kemajuan pada keberagaman, kesetaraan dan inklusi di tempat kerja ketika laki-laki aktif terlibat mendorong kesetaraan gender, sementara hanya 30% organisasi yang melaporkan bahwa ada kemajuan yang diperoleh ketika tidak ada keterlibatan dari laki-laki (Katalis, 2022).
Keberagaman dan lingkungan yang inklusif berperan secara langsung terhadap kinerja positif sebuah organisasi, termasuk kinerja komersialnya. Ringkasnya, tanpa laki-laki, kesetaraan gender di Indonesia sulit terwujud, dan masih banyak upaya yang harus ditempuh ke depan demi mengatasi hal tersebut.
Kedua, Kartini memperingatkan bahwa perubahan seharusnya muncul dari masyarakat kita sendiri. Ini membuat saya berpikir, apakah saya justru mengabaikan kekuatan dan keistimewaan saya sendiri dalam menantang sebuah konvensi yang diskriminatif saat ini yang menghalangi pencapaian kesetaraan gender? Laki-laki seperti saya seharusnya dapat membela dan memperjuangkan kesetaraan gender dengan terus yakin bahwa perubahan itu tidak mustahil, menyerukan bias gender (pada kaum laki-laki sendiri dan juga orang lain), serta mengajak kolega dan teman-teman, baik laki-laki dan perempuan untuk berdialog tentang peningkatan kesadaran akan kesetaraan gender. Upaya-upaya ini terbukti dapat memajukan kesetaraan gender di tempat kerja dan pada akhirnya meningkatkan kinerja sebuah organisasi secara keseluruhan.
Jika kita ingin mengatasi kesenjangan gender, laki-laki tidak cukup hanya membela perempuan di tempat kerja namun kembali ke kondisi semula yang tidak mendukung kesetaran alias status quo saat di rumah. Banyak batasan-batasan dari norma saat ini yang menghambat kesetaraan gender karena tidak proporsionalnya pekerjaan pengasuhan tidak berbayar yang dilakukan oleh perempuan dan anak perempuan di rumah. Penelitian yang dilakukan oleh Equimundo (2022) menunjukkan bahwa laki-laki sering kali tidak menyadari adanya ketidakadilan dalam pembagian pekerjaan pengasuhan tidak berbayar. Di Indonesia, kesenjangan besar dalam beban kerja pengasuhan tidak berbayar terpampang nyata, dimana perbandingan waktu yang dihabiskan oleh perempuan yang melakukan pekerjaan pengasuhan dibandingkan dengan laki-laki adalah 8,1 jam dan 2,3 jam per hari (Prospera, 2023). Beban berat yang dihadapi perempuan akibat pekerjaan pengasuhan tidak berbayar merupakan variabel bebas andalan yang dapat dipakai untuk memprediksi kapan perempuan Indonesia akan keluar dari angkatan kerja, dan hal ini merupakan fakta sangat memprihatinkan yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
Isu berkepanjangan ini bahkan akan makin membebani jika dikaitkan dengan tujuan pembangunan Indonesia Emas 2045. Angka partisipasi tenaga kerja perempuan di Indonesia bertahan sedikit di atas 50% selama tiga tahun terakhir (menurut Portal Data Gender Bank Dunia). Pemerintah Indonesia bercita-cita mendongkrak angka tersebut hingga 65% di tahun 2045, sebuah angka yang menandakan kesenjangan besar. Guna membuat perempuan lebih berdaya dan menjadikan Indonesia sebagai powerhouse (kekuatan besar) perekonomian, intervensi terhadap para pemangku kepentingan terkait, khususnya laki-laki, juga penting dilakukan agar dapat berdampak pada perilaku serta norma dalam lingkup partisipasi ekonomi perempuan. Perempuan, oleh karena itu, memerlukan dukungan dan bantuan lebih besar.
Ketiga, Kartini menghalau hambatan dengan cara merangkul orang-orang di sekelilingnya. Ini merupakan perilaku yang perlu diteladani dalam rangka memperjuangkan kesetaraan gender. Organisasi juga memegang peran kunci di sini dengan tidak hanya memperingati Hari Kartini saja, tapi juga memotivasi pekerja laki-laki untuk terlibat, menghilangkan hambatan terkait dukungan dari laki-laki, mendorong terciptanya dialog, dan yang lebih penting, berkomitmen untuk beraksi. Penelitian menunjukkan, prediktor paling berpengaruh dari kepentingan laki-laki dalam pelatihan organisasi tentang keberagaman adalah manajer mereka sendiri dan apakah mereka tertarik atau tidak terhadap upaya-upaya keberagaman, kesetaraan dan inkusi di dalam organisasi mereka.
Banyak peluang yang dapat kita manfaatkan dalam rangka mengatasi kesenjangan kesetaraan gender, termasuk dengan memperingati Hari Kartini yang dapat menjadi momen untuk menekankan pentingnya peran laki-laki dalam mendorong kesetaraan gender (hal yang sering luput dari perhatian banyak pihak). Laki-laki Indonesia, baik tua dan muda, harus berani menyuarakan kesetaraan gender, tidak hanya di saat peringatan Hari Kartini, namun juga setiap hari sepanjang tahun. Sehingga, generasi mendatang tidak akan mempertanyakan ketidakpedulian kita dan membiarkan perempuan Indonesia menanggung beban secara tidak adil karena kesenjangan yang ada di zaman sekarang.
Inilah, yang saya yakini, akan membuat Kartini bangga.
Penulis adalah ekonom senior Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) Economic Cooperation Program Katalis. Opini dan pemikiran yang tertuang dalam artikel ini adalah murni pandangan penulis.