Keterbatasan inklusi bagi kaum difabel akibatkan kerugian ekonomi hingga 7% per tahun
Jutaan penyandang disabilitas di Indonesia kekurangan akses ke tenologi penunjang
JAKARTA, 26 September 2023 – Dari sekitar 23 juta penyandang disabilitas di Indonesia, banyak diantaranya yang tidak dapat mengakses teknologi penunjang penting yang diperlukan untuk partisipasi penuh dalam pekerjaan, dan sesuai penelitian Bank Dunia, hal ini berpotensi merugikan perekonomian global rata-rata hingga tujuh persen dari PDB setiap tahunnya. Demikian salah satu kesimpulan sebuah dialog publik tentang pentingnya inklusi bagi kaum disabilitas yang diadakan Katalis, program pengembangan bisnis dukungan pemerintah Indonesia dan Australia, di Jakarta (26/9).
Data menunjukkan, kelompok difabel di Indonesia, dimana mayoritas adalah perempuan serta orang tua, secara konsisten memiliki pendidikan yang lebih rendah, kesehatan yang lebih buruk, akses yang lebih sedikit terhadap layanan publik dan peluang ekonomi yang lebih terbatas dibandingkan dengan orang-orang yang bukan penyandang disabilitas. Faktanya, Indonesia hanya berada di peringkat ke-115 dalam indeks inklusivitas tahun 2020, tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Singapura dan Thailand.
Diselenggarakan bersama program INKLUSI, acara bertajuk “Inklusi Difabel Penting: Dialog Publik Perdagangan dan Investasi” menggali berbagai cara untuk meningkatkan akses terhadap teknologi penunjang dan memastikan partisipasi yang lebih merata bagi kelompok difabel, sekaligus mengidentifikasi peluang signifikan perdagangan di Indonesia, dengan fokus pada ketersediaan, akses, keterjangkauan/daya beli, dan kualitas, yang menurut para peserta merupakan hambatan utama.
“Alat bantu yang dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hanya 7 dari 50 jenis alat bantu yg direkomendasikan WHO. Itu pun dengan lingkup pembiayaan kecil, sedang sebagian besarnya masih dibayar oleh pengguna. Sedangkan untuk disabilitas netra tidak ada alat bantu yg dijamin oleh JKN. Dampaknya, penyandang disabilitas kesulitan mengakses pendidikan dan pekerjaan karena ketiadaan teknologi bantu”, kata Suharto, S.S., M.A., PhD, Direktur Eksekutif SIGAB, salah satu mitra Program INKLUSI yang berfokus pada pemenuhan hak penyandang disabilitas.
Harga untuk teknologi penunjang di Indonesia, seperti kacamata, alat bantu dengar, dan kursi roda, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara sejenis dan umumnya hanya terjangkau oleh 20 persen rumah tangga terkaya.
“Menutup kesenjangan inklusi bagi kaum difabel di Indonesia akan berdampak positif secara sosial dan ekonomi, termasuk berpotensi meningkatkan perdagangan teknologi penunjang. Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA) memungkinkan kedua negara mengidentifikasi peluang dan tantangan guna mendukung upaya-upaya Pemerintah Indonesia dalam mengurangi hambatan dan memfasilitasi inklusi kaum difabel,” kata Paul Bartlett, Direktur Program IA-CEPA ECP Katalis.
Hasil dari diskusi ini akan digunakan untuk memperkaya studi yang saat ini dilakukan oleh Katalis mengenai perdagangan peralatan medis dan teknologi penunjang antara Indonesia dan Australia, yang akan dirilis pada awal tahun 2024. Informasi selengkapnya dapat diakses di katalis.org.